Geliat Desa Kawasan Taman Batang Gadis
05 Desember 2005
(Media) - Udara dingin pegunungan langsung menyergap ketika memasuki Desa Sopotinjak, Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara (Sumut), Kamis (1/12). Desa ini berada di lereng bukit terusan dari Tor Pangalot.
Rumah-rumah penduduk di desa itu dari struktur bangunan terlihat sama bentuknya. Bangunan rumah mereka persegi dengan jendela dan pintu yang lebar. Selain itu, tidak memiliki ruangan yang bersekat.
Desa yang berpenduduk 55 keluarga ini merupakan salah satu dari 35 desa di 10 kecamatan di sekitar kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang sudah membentuk organisasi konservasi rakyat untuk pelestarian lingkungan di kawasan itu.
Program ini digagas oleh lembaga non-goverment Bitra Konsorsium. Konsorsium itu meliputi Bitra Indonesia, Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sumut, Yayasan Pusaka Indonesia, dan Yayasan Samudera seta Conservation Internasional Indonesia (CII).
Menurut Safarudin Siregar dari Konsorsium Bitra, dalam waktu dekat 10 desa lainnya akan diikutsertakan dalam kegiatan pengembangan usaha ekonomi alternatif.
"Butuh dukungan dari pemerintah kabupaten karena kelangsungan TNBG berbasis pada masyarakat sekitar. Harus ada program terencana yang bisa dipahami dan diterima sesuai harapan masyarakat," kata Safarudin.
Menurutnya, investasi konservasi lainnya dapat berupa pengembangan ekonomi alternatif pada 71 desa yang berada di kawasan TNBG dan pengembangannya harus sejalan dengan potensi ekonomi dan kelembagaan setempat.
Sayangnya, Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal sangat berharap kepada organisasi non-goverment ini dalam pengembangan desa di kawasan TNBG. "Minimnya anggaran dari pusat membuat kami tidak bisa berbuat terlalu banyak. Kami akan membantu dalam pembuatan jalan menuju desa-desa itu. Sedangkan untuk pengembangannya kami berharap kepada LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang konsen dengan TNBG," ujar Bupati Mandailing Natal Amruy Daulay di Panyabungan.
Disinggung mengenai kehidupan masyarakat di desa sekitar TNBG yang khawatir lahan mereka akan hilang karena belum adanya tapal batas TNBG, Amru menyatakan membutuhkan biaya yang besar untuk membuat tapal batas. "Tapal batas belum bisa dilakukan, tetapi titik koordinat sudah kita miliki. Tidak ada tawar-menawar lagi, 108 ribu hektare adalah lahan TNBG," tandasnya.
Gagal panen
Persoalan lain bagi warga Bukit Malintang yakni gagal panen ribuan hektare sawah dalam dua tahun belakangan. Hal itu diduga terjadi karena upaya perusahaan tambang emas milik PT Sorik Mas Mining (SMM) mulai eksplorasi di kawasan TNBG seluas 55 ribu ha dari 108 ribu ha kawasan hutan nasional pada 2003. "Produksi gabah kering kami tidak banyak jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 4,8 ton per ha," kata Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Humban I, Oslan Simangunsong.
Tidak hanya produksi gabah kering yang berkurang, hasil kemiri mereka pun berkurang hingga 50%. Jika sebelumnya mampu menurunkan kemiri dari bukit hingga 100 ton, kini cuma memanen kemiri 50 ton.
Sebenarnya di daerah itu terdapat irigasi Batang Gadis yang seharusnya bisa mengaliri areal persawahan mereka. Namun, sejak berdiri pada 1990, irigasi itu hanya berfungsi dalam dua tahun pertama. "Setelah itu rusak dan tidak lagi mengaliri sawah kami," ungkap Kepala Desa Tasumbing Ali Sadikin.
Menyiapi kondisi itu, Bupati Mandailing Natal Amruy Daulay menegaskan, tetap konsekuen tidak mengizinkan perusahaan itu melakukan kegiatan di dalam kawasan taman nasional. "Memang eksplorasi yang mereka lakukan tidak pernah berhenti. Masalah yang kami hadapi mereka mengantongi izin dari Departemen Sumber Daya Alam," tandasnya.
Yennizar Lubis/Kennorton Hutasoit/N-2
Sumber: http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005120423522913
No comments:
Post a Comment