Peranan Lembaga Adat dalam Mengurangi Konflik Horizontal dan Vertikal di Mandailing Natal (Sebuah Wacana)
Oleh : Edi Nasution, STP
Hukum adat merukapan salah satu khasanah kekayaan hukum di Indonesia yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam masyarakat tradisional di Indonesia, meskipun belakangan ini seolah-olah terlupakan dan terabaikan ditelan oleh pemberlakuan hukum Positif. Pada masa sebelum lahirnya Negara Republik Indonesia yang berlaku ditengah-tengah masyarakat pada umumnya adalah hukum adat yang tunduk kepada norma-norma dan peraturan-peraturan yang tidak tertulis, tetapi sangat ketat penerapannya di dalam kehidupan masyarakat Tradisional pada waktu itu.
Meskipun hukum adat terabaikan di era mederen ini, kita masih merasakan adanya sedikit nyawa dari hukum adat itu sendiri, terutama di daerah-daerah tradisional dan pedesaan di pelosok wilayah Indonesia. Sadar atau tidak sadar harus kita akui hukum adat masih sangat kuat pengaruhnya ditengah-tengah masyarakat kita, semakin maju suatu daerah maka hukum adat akan semakin terkikis.
Lembaga adat sebagai salah satu kekuatan tradisional yang masih ada kiranya perlu diterapkan di Mandailing Natal untuk mengurangi terjadinya konflik horizontal dan vertical terutama yang berkaitan dengan hak-hak adat (Ulayat) misalnya konflik antara Masyarakat dengan Pemda Madina dalam pengelolaan tanah adat, atau konflik pengelolaan Sarang Burung Walet antara Pemda, Masyarakat, dan Pengusaha.
Pada era otonomi daerah seperti sekarang ini tidak tertutup kemungkinan dan sangat potensial terjadinya konflik horizontal maupun vertical di lingkungan Pemerintah Daerah Mandailing Natal sebagai akibat terjadinya tarik-menarik kepentingan dalam pengelolaan kekayaan daerah setempat. Hal ini dimungkinkan karena Pemda dengan semangat otonomi yang menggebu-gebu akan berusaha sekuat mungkin untuk mencari pemasukan bagi kelangsungan hidup pemerintahannya, tentunya dalam kondisi yang masih dalam peralihan seperti sekarang ini masih ada oknum pejabat yang berusaha untuk mencari celah untuk melakukan korupsi untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongannya, sehingga akan menjelma menjadi raja-raja kecil di Mandailing Natal, gejala-gejala seperti ini sudah mulai muncul sejak awal berdirinya Kabupaten Mandailing Natal.
Konflik horizontal dan vertikal di Mandailing Natal (Madina) tidak terlepas dari terabaikannya hukum adat dan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh kasus adalah :
• Terjadi tarik menarik kepentingan antara Pemda-Masyarakat-Pengusaha dalam pengelolaan sarang burung walet di Natal.
• Penebangan liar terhadap Hutan Primer di wilayah Sorik Marapi sebelah Barat (Wilayah Natal dan Batang Natal) yang merupakan hutan lindung dan penyangga untuk wilayah Pantai Barat.
• Penebangan Liar terhadap Hutan di Lembah Sorik Marapi sebelah Timur dan Selatan dengan mengatasnamakan masyarakat adat setempat, terutama disekitar desa Hutanamale, Hutatinggi, Hutabaringi, Angin Barat, dan Pastap di Kecamatan Kotanopan yang merupakan resapan air dan salah satu hulu Aek Batang Gadis.
Dengan latar belakang diatas penulis mempunyai keyakinan bahwa lembaga adat perlu dibentuk untuk mencari solusi terbaik dalam memecahkan persoalan-persolan di Mandailing Natal.
Pertanyaan yang timbul sekarang adalah apakah bisa diterapkan? dan bagaimana implementasinya?. Jawabannya adalah tergantung kepada semua komponen Masyarakat Madina terutama Ulama, Tokoh Masyarakat, Pemda, Pemuda dan LSM, kalau kita mempunyai kemauan kenapa tidak?. Bagaimana implementasinya di Masyarakat?, hal itu perlu dirumuskan bersama untuk membicarakannya dalam satu meja. Apakah hal itu dimulai dari lingkungat Rt, Rw, Kampung, Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Lembaga adat ini harus secara proaktif memberikan masukan-masukan kepada DPRD dan Pemda tentang permasalahan yang ada di lingkungan Masyarakat.
Tentang komponen lembaga adat itu sendiri terdiri dari :
1. Tingkat Desa ; Dipilih oleh Masyakat desa bersangkutan untuk mewakili pada tingkat Kecamatan.
2. Tingkat Kecamatan ; Merupakan wakil-wakil yang dipilih dari anggota dari tingkat Desa.
3. Tingkat Kabupaten ; Merupakan wakil-wakil yang dipilih dari anggota dari tingkat Kecamatan.
4. Dewan kehormatan dan Pengawas Lembaga Adat; Anggotanya dipilih dari orang-orang yang mempunyai Integritas yang tinggi, jujur dan benar-benar mau memperhatikan kepentingan Masyarakat di Mandailing Natal.
Dengan adanya lembaga adat Independen ini diharapkan dapat memberikan masukan dan saran-saran dan sekaligus dapat mengawasi jalannya Pemerintahan di Mandailing Natal sehingga terbentuk Pemerintahan yang bersih dari segala unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang pada gilirannya akan bermuara pada tercapainya Madina Yang Madani dan meningkatnya kesejahteraan Masyarakat di Mandailing Natal. Bukankah sama-sama kita tahu bahwa di Madina terdapat sumber daya Manusia yang cukup handal dan Sumber daya Alam yang melimpah mulai dari hasil hutan, pertanian, potensi kelautan, perikanan pariwisata, bahan tambang seperti Emas, Tembaga, Batubara, dan lain-lain. Jadi sangat aneh kalau masih ada rakyat di Madina yang hidup dibawah garis kemiskinan (hppmm'02).
No comments:
Post a Comment