Sunday, September 30, 2007
Lubuk Larangan, Modal Social Masyarakat Mandailing
Lubuk Larangan, Modal Sosial Masyarakat Mandailing
BAGI masyarakat Mandailing di Sumatera Utara, sungai adalah berkah alam sebagai modal untuk kepentingan sosial. Hal itu pulalah yang mendorong warga berlomba-lomba membuat lubuk larangan, hingga kini.
Setelah melalui kesepakatan bersama, sebagian aliran sungai yang melintasi di desa kemudian ditetapkan sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu. Biasanya 6-12 bulan. Setelah panen, panitia kemudian membuka lubuk larangan untuk umum dan hasil pengelolaannya digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan desa, menyantuni anak-anak yatim, dan mendanai berbagai kegiatan sosial yang lain.
Sistem pengelolaan lubuk larangan ini bisa kita temui di desa-desa yang dilalui aliran Sungai Batang Gadis, mulai dari bagian hulu di kawasan Pakantan, ke arah hilir hingga ke daerah Panyabungan; dan juga di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai di Kecamatan Batang Natal. Bahkan, sistem ini kini telah berkembang luas di seluruh Mandailing Natal, dan sebagian Tapanuli Selatan.
LUDDIN Hasibuan (43), Ketua Pengurus Lubuk Larangan Desa Aek Ngali, mengatakan, untuk membuat lubuk larangan harus dimulai dengan musyawarah desa untuk menentukan batas-batas lubuk larangan. Tanpa kesepakatan bersama, lubuk larangan tidak bisa dibuat. Kemudian warga iuran sebagai modal mendatangkan "orang pintar" (dukun) dan untuk membeli bibit ikan.
Setelah sang dukun membaca doa-doa, kemudian diumumkan kepada masyarakat desa dan desa-desa tetangga bahwa sungai itu telah menjadi lubuk larangan. "Biasanya tak ada yang berani menangkap ikan di lubuk larangan," katanya.
Bagi yang melanggar akan didenda Rp 500.000 per orang. Sanksi lain yang lebih ditakuti warga yaitu hukuman moral dan kutukan.
"Masyarakat sini masih percaya, orang yang berani mengambil ikan di lubuk larangan akan sakit, dan bisa mati jika tidak diobati dukun yang telah menjaga lubuk larangan tersebut," kata Luddin.
Secara tak langsung, pengelola lubuk larangan juga mengandung nilai-nilai konservasi, bisa menjaga kualitas air sungai karena warga desa akan menjaga sungai tidak tercemar agar panen ikan bisa melimpah. Sistem lubuk larangan adalah satu bukti sistem tradisional yang mampu menjaga alam secara lestari. (AHMAD ARIF)
Lubuk Larangan, Modal Sosial Masyarakat Mandailing
BAGI masyarakat Mandailing di Sumatera Utara, sungai adalah berkah alam sebagai modal untuk kepentingan sosial. Hal itu pulalah yang mendorong warga berlomba-lomba membuat lubuk larangan, hingga kini.
Setelah melalui kesepakatan bersama, sebagian aliran sungai yang melintasi di desa kemudian ditetapkan sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu. Biasanya 6-12 bulan. Setelah panen, panitia kemudian membuka lubuk larangan untuk umum dan hasil pengelolaannya digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan desa, menyantuni anak-anak yatim, dan mendanai berbagai kegiatan sosial yang lain.
Sistem pengelolaan lubuk larangan ini bisa kita temui di desa-desa yang dilalui aliran Sungai Batang Gadis, mulai dari bagian hulu di kawasan Pakantan, ke arah hilir hingga ke daerah Panyabungan; dan juga di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai di Kecamatan Batang Natal. Bahkan, sistem ini kini telah berkembang luas di seluruh Mandailing Natal, dan sebagian Tapanuli Selatan.
LUDDIN Hasibuan (43), Ketua Pengurus Lubuk Larangan Desa Aek Ngali, mengatakan, untuk membuat lubuk larangan harus dimulai dengan musyawarah desa untuk menentukan batas-batas lubuk larangan. Tanpa kesepakatan bersama, lubuk larangan tidak bisa dibuat. Kemudian warga iuran sebagai modal mendatangkan "orang pintar" (dukun) dan untuk membeli bibit ikan.
Setelah sang dukun membaca doa-doa, kemudian diumumkan kepada masyarakat desa dan desa-desa tetangga bahwa sungai itu telah menjadi lubuk larangan. "Biasanya tak ada yang berani menangkap ikan di lubuk larangan," katanya.
Bagi yang melanggar akan didenda Rp 500.000 per orang. Sanksi lain yang lebih ditakuti warga yaitu hukuman moral dan kutukan.
"Masyarakat sini masih percaya, orang yang berani mengambil ikan di lubuk larangan akan sakit, dan bisa mati jika tidak diobati dukun yang telah menjaga lubuk larangan tersebut," kata Luddin.
Secara tak langsung, pengelola lubuk larangan juga mengandung nilai-nilai konservasi, bisa menjaga kualitas air sungai karena warga desa akan menjaga sungai tidak tercemar agar panen ikan bisa melimpah. Sistem lubuk larangan adalah satu bukti sistem tradisional yang mampu menjaga alam secara lestari. (AHMAD ARIF)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/30/sumbagut/1780777.htm
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment