Sunday, September 30, 2007

Memberi Parang Pun Tak Cukup

Selasa, 17 Mei 2005

Membeli Parang Pun Tak Cukup

ASMARA Lubis telah bersabar menunggu selama 12 tahun, sebelum siang itu dia memutuskan untuk menebang pohon kayu manis diladangnya. Karena merasa hasilnya masih kurang banyak, lelaki itu menebang satu lagi pohon kayu manis yang telah berumur delapan tahun.

Asmara lalu menguliti dan menjemur kulit kayu manis hingga kering. Butuh empat hari kerja keras sebelum kulit kayu manis itu siap dijual.

Dan saat tiba hari pekan, minggu lalu, petani dari Desa Huta Godang, Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, itu membawa kulit kayu manis kering miliknya ke pasar. Ia berharap hasil penjualannya bisa dibelikan parang, guna menggantikan parangnya yang rusak. Namun, alangkah kecewanya Asmara karena penjualan dari dua pohon kayu manis yang berumur 12 tahun dan delapan tahun itu hanya menghasilkan uang Rp 21.000. "Jangankan ada sisanya, untuk membeli parang saja tidak cukup. Harga parang Rp 31.000," katanya.

Kisah Asmara adalah potret nyata tentang petani-petani kita. Kerja keras mereka seakan memang tak berharga di dalam sistem perdagangan. Ini memang cerita lama. Tetapi, inilah realitas yang masih juga dialami petani hingga kini.

"Harga jual tanaman kami selalu anjlok, sementara harga-barang-barang seperti pupuk dan obat serta peralatan untuk bertani terus naik," kata Asmara.

Selain kayu manis, berbagai produk pertanian seperti kentang dan kopi, petani di lereng Sorik Merapi kini kian terpuruk. Saat panen, harga kentang hanya Rp 1.700 per kilogram, padahal saat musim tanam petani harus membeli bibit kentang dengan harga selangit. "Saat menanam kentang beberapa bulan lalu, kami harus membeli bibit seharga Rp 12.000 per kilogram. Saat panen, harganya anjlok serendah-rendahnya," ucap Asmara.

Sementara itu, komoditas yang harganya menjanjikan justru tak memberikan hasil produksi yang bagus karena terserang penyakit. "Bagaimana kami bisa menyekolahkan anak jika ekonomi kami terus dicekik seperti ini. Untuk makan saja sangat susah," kata Muhammad Nur Nasution (35), warga Desa Huta Baringin, Kecamatan Tambangan.
Petani kini juga harus menjadi penyangga utama pelestarian kawasan hutan di sekitarnya. Februari lalu, kawasan hutan Batang Gadis telah ditetapkan sebagai taman nasional.

Ucok Lubis, Ketua Organisasi Konservasi Rakyat (OKR) Desa Huta Godang, mengatakan, hancurnya berbagai komoditas pertanian akan mendorong warga desa di pinggiran hutan, di lereng Sorik Merapi, mencari penghasilan ke Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).

"Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, jika mereka kembali tergantung ke hutan untuk memenuhi kebutuhan. Kalau kelaparan, masyarakat akan kembali memburu hewan, mencari rotan ataupun kayu. Susah mengajak orang berpikir untuk melindungi hutan kalau mereka lapar," katanya.(Ahmad Arif)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/17/sumbagut/1757784.htm

No comments:

Post a Comment